Setelah Mocca membintangi produk kopi ABC Mocca, kami berempat ketiban rejeki yang cukup lumayan. Saya memutuskan untuk menggunakan hasil honor untuk membeli mobil, namun karena jumlahnya tidak cukup untuk mobil baru–dan saya benci menyicil–akhirnya diputuskan untuk mencari mobil bekas layak pakai.
Saya mulai berburu dan rajin beli koran
lokal untuk melihat iklan yang dimuat. Bapak saya selalu berpesan untuk
tidak nekat membeli mobil buatan Eropa, walaupun sempat tergoda untuk
membeli VW, namun saya teringat petuah beliau. Setelah beberapa minggu
pencarian, suatu hari saya membaca “Accord Prestige 1986, 20jt” Wah!
Cocok nih sama budget. Saya ditemani Riko (gitaris) dan Rio (bassist
70′s orgasm club) mencari lokasi mobil yang terletak di jalan Tamansari,
Bandung.
Untuk pertamakalinya saya berjumpa dengan
mobil hijau tua Accord plat E 168 P–katanya itu nomor hokki.Dari bentuk
luarnya sih saya tidak merasa ada yang istimewa, bahkan rada norak
menurut saya. Ingin jadi mobil racing namun tidak kesampaian. Kemudian,
sang pemilik menyodorkan kunci kendaraan tersebut dan saya malah
mengopernya ke Rio karena kurang pede untuk menyupir mobil orang, lalu
kami berempat masuk ke mobil dan melakukan test drive.”Vruuum”
Knalpotnya ribut sekali! Setirnya kecil, sementara ban mobil pake velg
16–diduga buatan Surabaya–dan sang empunya pun berterus terang bahwaseal power steering-nya bocor, sehingga dia harus mengisi ulang setiap tiga hari sekali.
Setelah satu putaran sang pemilik mobil
turun, lalu bertanya “Kok gak nyobain sndiri sih, mbak?” Bener juga ya!
Mau beli mobil kok nyuruh orang..hahaha.Bapak mempersilahkan saya
mencoba lagi, namun beliau permisi karena dipanggil istrinya. Akhirnya
saya memberanikan diri untuk mencoba satu putaran dan disitulah Rio
dengan setengah histeris, “De! Alus ieu mobilna!” Saya balik merespon”Oh
nyaaak?” Karena tampang mobil yang kurang meyakinkan saya tidak
langsung percaya.
Saya mencoba satu putaran, seumur-umur
saya belum pernah mengendarai mobil dengan setir seringan itu dan
tenaganya juga sangat besar. Maklum, dari kecil keluarga saya pakai
Hijet 1000 dan saya belum pernah menyetir sedan. Melihat Rio yang
sumringah sepanjang jalan membuat saya yakin bahwa mobil itu adalah
pilihan yang tepat.
Kemudian kami kembali ke rumah sang bapak
dan melakukan transaksi via atm hari itu juga. Tentu saja awal-awal
punya mobil ini sangat penuh perjuangan. Mogok beberapa kali, keluar
masuk bengkel tak terhitung banyaknya. Tidak sedikit honor manggung
hanya lewat begitu saja karena saya ingin mengembalikannya ke bentuk
standar. Tapi saya tidak perduli karena saya sayang sekali dengan
Dobby–begitulah kunamakan mobil ini
.
Mobil tersebut sekarang sudah tidak ada/dijual. Momen apa yang mengingatkan Arina terhadap mobil tersebut ?
Sampai hari ini masih
tersisa sedikit penyesalan, kenapa tidak saya titip aja ya? Atau mungkin
dijual ke teman dekat. Tapi saat itu saya memang butuh duit untuk
pindahan sih, jadi memang tidak banyak pilihan. Bukan hanya momen
tertentu yang membuat saya ingat mobil itu, setiap kali di jalan liat
mobil Accord tua melintas, saya pasti ingat Dobby.
Bahkan kalau suami saya minta tolong agar
saya memindahkan Dodge Dakota 2000 miliknya–yang besar itu, stir kiri,
otomatis pula, sgt berlawanan dengan sedan tuaku–saya selalu ingat
Dobby. Mengemudikan Dobby itu ibarat menggerakan badan, kami berdua
sudah seperti satu unit. Sampai detik ini saya masih rindu mobil itu.